Stop Bullying Di Sekolah Dengan Mengenali Penyebabnya

Stop Bullying Di Sekolah

Kasus bullying di lingkungan sekolah masih sering terjadi pada dunia pendidikan di Indonesia, mulai dari jenjang sekolah dasar sampai perguruan tinggi.

Berdasarkan data OECD PISA, persentase kasus perundungan siswa di Indonesia mencapai angka 41%, angka ini jauh di atas rata-rata negara OECD sebesar 23%.

Besaran angka ini membuat miris bagi dunia pendidikan di Indonesia. Ini baru kasus bullying di sekolah yang dilaporkan. Banyak kasus kekerasan di sekolah yang tidak dilaporkan, entah karena korban merasa takut, atau tidak tahu harus melapor kemana.

Sudah saatnya stop bullying di sekolah!

Apa Itu Bullying di Sekolah?

Bullying di sekolah adalah kekerasan yang dilakukan oleh siswa kepada siswa lain yang dilakukan secara berulang dengan tujuan untuk menyakiti secara fisik maupun psikis.

Tidak semua kasus kekerasan yang terjadi di sekolah sebagai bullying. Kekerasan yang dilakukan siswa masuk kategori bullying apabila memenuhi unsur berikut,

  • Mengakibatkan kerusakan secara fisik, psikologis, dan sosial pada korban.
  • Kekerasan dilakukan secara berulang-ulang, atau
  • menimbulkan serangkaian dampak negatif pada korban dalam jangka panjang, atau
  • memicu tindakan kekerasan lain yang berulang pada korban.
  • Adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban, baik secara fisik maupun non fisik.

Mata Rantai Bullying di Sekolah

Dalam banyak kasus, kekerasan di sekolah melibatkan tiga pihak yang biasa disebut dengan tiga mata rantai bullying.

1. Pelaku

Bullying di sekolah bisa dilakukan siswa secara individual maupun bersama-sama dalam kelompok.

Karakteristik pelaku perundungan biasanya bersikap agresif, keinginan kuat untuk mendominasi, toleran terhadap kekerasan, impulsif, dan memiliki empati yang rendah.

2. Korban

Sepertihalnya pelaku bullying, korban perundungan di sekolah bisa individual maupun sekelompok siswa.

Korban bullying umumnya siswa yang lemah, tidak memiliki percaya diri, inferior, dan tidak mempunyai keberanian untuk melawan.

3. Saksi

Bullying kadangkala tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Perundungan terjadi dihadapan siswa lain, secara terang-terangan untuk menunjukkan dominasi pelaku.

Siswa yang menyaksikan bisa teman pelaku, ikut membully, atau setidaknya mendukung pelaku.

Bisa juga teman korban yang tidak berdaya untuk menghentikan pelaku, atau karena takut menjadi korban juga.

Jenis dan Contoh Bullying di Sekolah

Perundungan di sekolah terjadi dalam beragam bentuk. Siswa bisa menjadi korban dari satu jenis kekerasan.

Namun, tidak menutup kemungkinan juga menjadi korban dari semua jenis bullying yang ada di sekolah.

1. Bullying Fisik

Penindasan secara fisik merupakan jenis bullying di sekolah yang tampak dan bisa diidentifikasi.

Dilakukan untuk menyakiti secara fisik dan mengakibatkan dampak secara fisik pada korban.

Kekerasan yang dilakukan bisa berupa menyakiti korban secara langsung maupun tidak langsung.

Contoh bullying fisik secara langsung:

  • mencubit
  • mencekik
  • menendang
  • memukul
  • memiting
  • dan kekerasan fisik lainnya.

Contoh bullying fisik secara tidak langsung:

  • merusak tas
  • merampas alat tulis
  • merobek buku
  • mencoret-coret seragam
  • memalak
  • merusak properti atau barang milik korban.

2. Bullying Verbal

Kekerasan verbal merupakan bentuk bullying yang paling banyak terjadi. Mudah dilakukan, sulit untuk dideteksi, dan tidak memerlukan kekuatan fisik karena dilakukan dengan lisan.

Contoh bullying verbal:

  • penghinaan
  • memberi julukan jelek
  • fitnah
  • gosip
  • celaan
  • ancaman kekerasan
  • dan bentuk verbal lainnya yang menyakiti korban.

3. Bullying Relasional

Penindasan relasional merupakan upaya pelemahan harga diri korban, memanipulasi persahabatan. Sangat sulit dideteksi, bahkan oleh siswa yang menjadi korban.

Contoh bullying relasional:

  • pengucilan
  • pengabaian
  • penghindaran
  • pengecualian
  • dan perilaku lain yang tujuannya untuk menjauhkan korban dari pergaulan sosial.

Perundungan ini bisa juga dalam bentuk isyarat tubuh,

  • tatapan agresif
  • mencibir
  • lirikan mata
  • tertawa mengejek
  • menghela napas
  • mengacungkan jari tengah
  • dan bahasa tubuh lainnya yang menunjukkan ketidaksenangan atau mengintimidasi.

4. Cyberbullying

Cyberbullying merupakan bentuk perundungan baru dampak dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, teknologi digital.

Perundungan dilakukan menggunakan berbagai peralatan elektronik yang terkoneksi dengan internet.

Cyberbullying bisa dilakukan 24 jam sehari tanpa batasan ruang dan waktu, kapan saja dan dimana saja. Dan dapat menjangkau korban dimanapun ia berada.

Pelaku bisa bersembunyi dibalik akun anonim, menyembunyikan identitasnya. Menjadi lebih berani karena tidak membutuhkan kekuatan fisik.

Contoh cyberbullying:

  • mengirimkan pesan teks berisi kata-kata provokasi dan amarah
  • mengirimkan pesan secara terus menerus sehingga membuat korban gelisah dan cemas
  • menyebarkan aib korban melalui jejaring sosial
  • memata-matai, mengganggu, dan mencemarkan nama baik korban
  • menggunakan akun palsu untuk mengganggu korban
  • memblokir atau mengeluarkan korban dari group jejaring sosial
  • mencuri dan menyebarkan rahasia orang lain, bisa berupa foto atau video

Dampak Bullying di Sekolah

Perundungan di sekolah memiliki dampak negatif bagi pelaku, korban, maupun siswa yang menyaksikan peristiwa terjadinya bullying.

Dampak negatif bagi pelaku

  1. Gagal mengembangkan kemampuan sosial
  2. Memiliki toleransi dan empati yang rendah
  3. Kehilangan kontrol emosi sehingga berperilaku agresif dan menantang
  4. Tidak disiplin, sering bolos sekolah, tidak masuk sekolah
  5. Kehilangan konsentrasi pada tugas-tugas sekolah
  6. Nilai akademis menurun
  7. Drop out
  8. Berpotensi melakukan tindakan kriminalitas

Dampak bagi korban

1. Akademis

  • takut berangkat ke sekolah
  • kesulitan dalam mengikuti pelajaran karena kehilangan konsentrasi
  • tugas-tugas sekolah terbengkelai
  • kurang berminat pada kegiatan-kegiatan sekolah
  • nilai akademis menurun
  • drop out

2. Fisik

  • menderita luka pada tubuh
  • mengeluh kepala pusing
  • sakit perut, mual, mules
  • sulit tidur lelap karena mimpi buruk
  • badan lemah merasa tidak berdaya
  • berbicara terbata-bata

3. Sosial

  • kehilangan kepercayaan diri
  • menarik diri dari pergaulan dengan teman
  • kehilangan inisitif dan kreatifitas
  • tidak mampu mengemukakan pendapat
  • rendah diri
  • menutup diri

4. Emosi

  • sensitif, suasana hati sering berubah-ubah
  • murung, gelisah, cemas, takut
  • sedih, sering menangis
  • menyalahkan diri sendiri
  • depresi

Dampak bagi saksi

  1. Jika perundungan dibiarkan tanpa adanya tindak lanjut, siswa yang menyaksikan akan menganggap kekerasan sebagai perilaku yang diterima.
  2. Pemahaman yang keliru ini mendorong saksi untuk melakukan bullying di kemudian hari karena menganggapnya sebagai hal yang biasa, yang boleh dilakukan.

  3. Saksi akan merasakan kecemasan dan ketakutan akan menjadi korban selanjutnya.
  4. Kecemasan ini bisa mengganggu fokus anak, sehingga bisa mengakibatkan penurunan nilai akademis.

  5. Perasaan bersalah atau menyalahkan dirinya sendiri karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikannya, apalagi jika korban adalah teman dekatnya.

Mengingat dampak bullying yang tidak hanya terjadi sesaat, berdampak jangka panjang, saatnya stop bullying di sekolah dengan mengenali penyebabnya.

Mengapa Siswa Melakukan Bullying di Sekolah?

Kekerasan di sekolah sudah sering terjadi, bahkan terus berulang. Apa sesungguhnya yang menjadi penyebab bullying di sekolah.

Berikut beberapa faktor penyebab mengapa siswa melakukan bullying:

1. Muatan Kurikulum yang Padat

Muatan kurikulum yang terlalu padat mengubah orientasi pengajaran di sekolah. Sekolah lebih fokus pada pencapaian kurikulum, hal ini bisa membuat siswa tertekan.

Sementara sekolah minim sekali fasilitas untuk siswa melepaskan ketegangan, seperti sarana olah raga, kesenian, dan kegiatan-kegiatan penyaluran bakat non akademis lainnya.

Minimnya fasilitas ini mengakibatkan siswa menyalurkan tekanan pada perilaku atau perbuatan “jahil” pada temannya, yang bisa menjadi akar dari bullying di sekolah.

2. Metode Mengajar yang Kaku

Selama ini pendidikan di sekolah lebih menekankan pada aspek kognitif, sekedar penyampaian pengetahuan.

Guru kaku, mengajar dengan metode konvensional, satu arah, hanya transfer pengetahuan tanpa proses dialog.

Saat ini, tugas fundamental guru adalah mempersiapkan anak menghadapi realitas kehidupan sehari-hari.

Mengajarkan siswa menjadi manusia yang utuh, memahami interaksi antar-individu, sehingga dapat menekan terjadinya konflik, seperti tawuran antar pelajar, atau munculnya geng di sekolah.

3. Budaya Senioritas

Senioritas di sekolah merujuk pada tingkatan kelas yang lebih tinggi, kakak kelas. Bullying di sekolah bisa muncul karena budaya senioritas yang melenceng.

Munculnya sikap otoriter dan arogansi senior. Kakak kelas “berkuasa” atas adik kelas. Junior harus “tunduk” atas kemauan senior.

Apabila budaya senioritas masih tumbuh subur di sekolah, potensi perundungan di sekolah akan muncul setiap tahun. Muncul siklus bullying di lingkungan sekolah.

Ketika berganti tahun ajaran, junior akan naik kelas menjadi senior. Mereka akan meniru seniornya terdahulu, menjadi “penguasa” atas juniornya.

4. Pendisiplinan yang Otoriter

Pendisiplinan otoriter yang diterapkan secara keras berupa hukuman fisik dapat memberikan pengaruh buruk pada siswa.

Pendidikan disiplin otoriter akan membuat siswa menjadi penakut, tidak ramah pada orang lain, menumbuhkan kebencian, dan kehilangan inisiatif.

Pendisiplinan yang otoriter bisa menumbuhkan pemberontakan atau dendam pada siswa.

Siswa tidak punya kuasa untuk menolak, membalas, maka dendam itu akan dilampiaskannya pada siswa yang lemah.

5. Pengawasan Sekolah yang Lemah

Pengawasan sekolah yang lemah terhadap kasus bullying bisa menjadi penyumbang terjadinya kekerasan di sekolah.

Kurangnya pengawasan pada tempat-tempat yang rawan terjadinya kekerasan, seperti lapangan olahraga, kantin, kamar mandi, dan tempat-tempat yang jauh dari pengawasan guru.

Pengawasan sekolah yang lemah juga termasuk pengabaian laporan bullying yang terjadi di lingkungan sekolah.

Guru menganggap sebagai candaan khas anak-anak. Akibatnya, siswa pelaku perundungan merasa bebas melakukan dan akan mengulanginya.

6. Faktor Keluarga

Keluarga merupakan lingkungan pertama tempat anak belajar. Perilaku agresi anak acapkali dipelajari dari rumah.

Situasi rumah penuh stres, makian, permusuhan, dan hukuman yang berlebihan bisa menjadi pemicu perilaku agresif anak karena meniru apa yang dilihat dan dirasakannya sehari-hari.

Posisi anak yang lemah dalam keluarga membuatnya tidak berdaya untuk “melawan”. Anak akan melampiaskannya pada orang lain.

Anak akan menganggap kekerasan sebagai hal yang biasa dalam membina hubungan dan untuk memperoleh apa yang diinginkannya.

Dari sinilah anak “mengembangkan” perilaku bullying.

Baca juga: Jenis Pola Asuh Orang Tua Pada Anak dan Dampaknya

7. Faktor Lingkungan Sosial

Kesenjangan ekonomi yang lebar antara si kaya dan si miskin bisa menjadi penyumbang kasus bullying yang terjadi di sekolah.

Seringkali kondisi kemiskinan menjadi bahan “olok-olok” yang membuat anak tidak nyaman. Ini membuat anak lebih tertekan.

Anak yang hidup dalam kemiskinan terbiasa melakukan apa saja demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Inilah salah satu penyebab terjadi pemalakan siswa di sekolah.

8. Kelompok Sebaya

Ketika menginjak remaja, anak tumbuh keinginan untuk “lepas” dari keluarga, tidak lagi tergantung pada keluarga.

Anak mulai berinteraksi dengan teman sebaya. Mencari dukungan dan rasa aman dalam kelompok sebaya.

Bullying seringkali terjadi karena sikap konformitas anak, mereka terdorong melakukan perundungan sebagai pembuktian.

Untuk membuktikan bahwa mereka layak diterima masuk dalam kelompok tertentu, meskipun anak tidak nyaman saat melakukannya.

9. Tayangan Kekerasan di Media

Menurut American Psychological Association (APA), tayangan kekerasan memberikan dampak yang besar pada perilaku agresif anak.

Memproduksi suasana hati tidak enak, dan membuat penonton berada dalam keadaan mudah marah.

Hasil survei kompas menunjukan bahwa, 56,9% anak meniru adegan dalam film yang ditonton. Menirukan gerak 64%, dan 43% meniru kata-kata dalam film.

Dua penelitian di atas mengkorfirmasi betapa bahayanya tayangan kekerasan di media. Anak bisa meniru dan mempraktekkan kekerasan dalam film di kehidupan sehari-hari.

Melakukan kekerasan pada teman sepermainan di lingkungan sekitar rumah, maupun teman sekolahnya.

Bagaimana Mengatasi Bullying di Sekolah?

Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk stop bullying di sekolah, atau setidaknya mencegah dan mengatasi perundungan yang dilakukan siswa di sekolah.

1. Mengubah Cara Mendidik dan Memperlakukan Siswa

Hasil penelitian Ratna Juwita, Psikolog UI, menunjukkan bahwa hubungan antara guru dan murid yang sangat baik dan akrab memiliki angka kasus bullying yang paling rendah.

Untuk mencegah terjadinya bullying, guru dapat melakukan pendekatan-pendekatan positif pada siswa, seperti:

  • Penilaian positif
  • Hindari mencela dan memberi label buruk pada anak. Gunakan kalimat-kalimat positif agar tertanam dalam bawah sadar anak. Contoh, “kamu itu sebenarnya anak baik”, atau “kamu itu sebenarnya anak yang pintar”.

    Kalimat tersebut jika terserap dalam pikiran bawah sadar anak akan mendorong anak berperilaku dan bersikap sesuai dengan pikiran bawah sadarnya.

  • Berikan apresiasi atau penghargaan atas usaha yang dilakukan anak, apapun hasilnya.
  • Penelitian menunjukkan bahwa, penghargaan atau dorongan yang positif akan merangsang kreativitas dan perilaku positif.

    Contoh, membuat ruang pameran untuk memajang karya-karya siswa, atau memberikan catatan yang baik pada hasil karya anak yang bisa mendorongnya kreatif dan berperilaku positif.

  • Hindari hukuman fisik.
  • Hasil riset tentang kekuatan pikiran menunjukkan bahwa, hukuman dapat menghambat daya pikir kreatif dan meningkatkan agresi.

    Kalaupun terpaksa menggunakan hukuman, pilih sanksi edukatif, hukuman yang bersifat mendidik.

    Contoh bentuk hukuman dengan membaca kitab suci, membuat karya tulis, atau tugas lain yang berkaitan dengan pelanggaran siswa.

2. Mengembangkan Budaya Sekolah

Budaya sekolah merujuk pada sistem nilai yang menjadi pedoman bagi seluruh warga sekolah dalam berperilaku dan bertindak di lingkungan sekolah.

Budaya sekolah yang positif akan mendorong siswa menggunakan seluruh potensi yang dimiliki untuk mengembangkan diri menjadi siswa yang unggul.

Sekolah bisa mengembangkan budaya 3S (senyum, salam, sapa), menyusun buku saku sebagai pedoman berperilaku di lingkungan sekolah.

Menyusun etika pergaulan yang menjadi panduan dalam interaksi sosial di lingkungan sekolah.

Etika ini jika dikembangkan dan ditanamkan dalam pergaulan di lingkungan sekolah bisa menumbuhkan sikap positif pada warga sekolah

Sikap toleransi, saling menghormati, menghargai, tolong menolong, dan sikap positif lainnya akan tumbuh dan berkembang di dalam interaksi sosial di lingkungan sekolah.

3. Membangun Komunikasi Aktif dengan Orang tua

Bangun jaringan komunikasi secara aktif dengan orang tua. Sampaikan informasi yang up to date tentang anak dan kegiatan sekolah kepada orang tua.

Jika perlu, minta sumbang saran dari orang tua. Jejaring ini bisa dibangun secara on-line maupun off-line.

Selama ini, komunikasi sekolah dengan orang tua kebanyakan hanya berlangsung setiap akhir semester, saat pembagian rapor maupun kenaikan kelas.

Saatnya sekolah meningkatkan komunikasi dengan orangtua. Sekolah bisa membuat hotline untuk komunikasi setiap saat, web sekolah yang interaktif, atau menerbitkan buletin sekolah secara berkala.

Komunikasi yang aktif bisa meningkatkan partisipasi dan kedekatan orang tua dengan anak, orang tua dengan sekolah.

Kualitas komunikasi yang baik dapat mencegah, mengurangi, dan mengatasi bullying di sekolah.

Mengingat faktor penyebab terjadinya kekerasan di sekolah salah satunya adalah faktor keluarga.

4. Pemahaman dan Kepedulian Warga Sekolah Terhadap Bullying

Sekolah perlu meningkatkan pemahaman terhadap bullying, melalui workshop, seminar, atau pelatihan-pelatihan.

Pemahaman yang baik terhadap karakteristik bullying, faktor penyebab, pencegahan, dan penanganannya bisa meminimalisir potensi terjadinya perundungan di sekolah.

Kepedulian warga sekolah terhadap perundungan yang terjadi di sekolah menjadi penentu keberhasilan dalam mengatasi bullying.

Pembiaran akan menyuburkan tindak kekerasan di sekolah karena siswa akan berasumsi bahwa apa yang dilakukan sebagai hal yang lumrah, biasa saja.

5. Deklarasi Anti Bullying di Sekolah dan Internet Positif

Sekolah perlu mendeklarasikan kampanye stop bullying di sekolah, anti bullying, dan internet positif yang melibatkan partisipasi aktif semua unsur sekolah, orang tua, siswa, guru, karyawan, dan komite sekolah.

Kampanye bisa dilakukan dengan memasang poster-poster anti bullying, internet positif, pentas seni, pameran, atau bentuk-bentuk kegiatan lain.

Semua bentuk kegiatan tema sentralnya berupa anti bullying dan bagaimana memanfaatkan internet secara positif.

Selain memberikan pemahaman, kegiatan-kegiatan ini bisa berfungsi untuk penyaluran dan pengalihan energi siswa yang berlebih.

Energi yang dimiliki siswa disalurkan pada kegiatan-kegiatan yang positif sebagai sarana pengembangan diri siswa.

6. Membentuk Bullying Center

Untuk pencegahan, penanganan, dan mengatasi bullying. Perlu dibentuk bullying center di sekolah.

Guru bimbingan dan konseling bisa ditunjuk sebagai koordinator pelaksana dibantu dengan guru yang lain dan siswa.

Bullying center sebagai pusat kegiatan anti bullying dengan ketugasan,

  • menyusun materi tentang bullying di sekolah sebagai bahan sosialisasi
  • menyusun program kegiatan anti bullying yang akan dilaksanakan di sekolah
  • menerima pengaduan bagi korban bullying, yang perlu diperhatikan adalah menjaga kerahasiaan pelapor
  • menyelesaikan kasus kekerasan yang terjadi di sekolah, penanganan harus dilaksanakan secara komprehensif melibatkan pelaku, korban, dan saksi
  • melakukan pengawasan pada tempat-tempat yang berpotensi terjadi bullying
  • melakukan kerja sama dengan instansi terkait dalam upaya pencegahan perundungan di sekolah

Stop Bullying di Sekolah

Mengingat dampak bullying yang bisa menghambat perkembangan sosial dan emosional siswa, perlu upaya lebih keras dari stakeholder sekolah untuk mengatasinya.

Trauma akibat kekerasan yang dialami di sekolah akan dirasakan pada kelanjutan studi berikutnya, bahkan sampai dewasa.

Seluruh komponen sekolah harus lebih peduli pada kasus bullying yang terjadi di lingkungan sekolah.

Sekolah bisa merancang tindakan atau kegiatan yang berorientasi kuat pada pencegahan terjadinya perundungan di sekolah.

Selama ini upaya pencegahan kekerasan di sekolah masih bersifat sporadis, belum terencana dengan baik, sehingga efektivitasnya tidak terlalu besar.

Saatnya bersama-sama, bersinergi untuk mengatasi kekerasan di sekolah. STOP BULLYING DI SEKOLAH!

Posting Komentar untuk "Stop Bullying Di Sekolah Dengan Mengenali Penyebabnya"